Oleh: Gobai Zebulon
Politik uang kian mencuat di Indonesia beberapa tahun bekangan
akibat aktor politik atau parpol peserta pemilu serta penyelenggara pemilu yang
sering ikut bermain sogok-menyogok di bawah meja. Ini merupakan virus yang
mematikan semangat demokrasi di Indonesia dan di Papua, khususnya pada setiap
pemilu legislatif maupun pilpres.
Praktek ini tak hanya melanggar hukum dan
mencorengi etika politik saja, tapi juga berpotensi membunuh upaya pencapaian
dan keberhasilan sebuah pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel.
Sebab politik uang adalah salah satu penyelewengan atau istilah kompetisi yang
kurang sehat.
Dengan modus sumbangan, bakti sosial hingga serangan fajar sering terjadi
sebelum pencoblosan di TPS. Politik uang menjadi hal menakutkan bagi pemilih
karena mereka lazim memanfaatkan kelemahan konstituen di kalangan akar rumput
untuk meraup suara, hanya dengan beberapa lembaran rupiah. Mereka pintar bermain lewat kepala kampung, kepala-kepala Distrik atau melalui para penyelenggara pemilu, KPU, KPUD provinsi dan KPUD kabupaten/kota, PPD, PPS dan KPPS serta petugas-petugas TPS lainnya. Politik uang tidak hanya berlaku dari politisi (yang busuk) ke calon pemilih. Ia juga berlaku dari politisi tingkat bawah untuk bisa naik ke tingkat atas.
Simak saja dalam proses pencalonan wakil pemerintah atau wakil rakyat. Contohnya pada pemilu legislatif 2009 lalu. Untuk masuk sebagai calon wakil rakyat, kader-kader partai harus membayar sejumalah uang ke partainya. Jika tak demikian, ia sulit masuk dalam bursa calon wakil.
Para aktor politik uang mayoritas berasal dari pengurus dan kader partai selain calon anggota legislatif langsung. Bisa juga mereka-mereka yang diboncengi oleh pebisnis kaya atau pejabat publik yang ikut berpolitik dibelakang layar guna memenangkan kepentingan partai kedepan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Tidak hanya berupa pemberian secara terbuka, praktek pemberian suara secara tidak langsung diyakini jauh lebih besar nilainya. Misalnya, untuk menggolkan pencalonan seorang kader partai, ia harus mengeluarkan uang kontribusi dan uang lobi berpuluh-puluh miliyar banyaknya.
Paling-paling usaha menarik hati konstiuen yang lazim dilakukan oleh Golkar dengan janji-janji pembangunan fasilitas publik seperti jalan aspal, irigasi untuk para petani, dan proyek populis lainnya. Namun sekarang, seiring dengan munculnya independensi penyelenggara pemilu alias (KPU), maka modus pembelihan suara secara langsung maupun tidak, jauh lebih dominan. Soalnya, intervensi birokrasi pemerintah dan partai politik relatif lebih minim namun dalam praktek politik uang malah kian meningkat.
Masyarakat kecillah yang dianggap paling rawan menjadi sasaran politisi dalam bertransaksi suara. Karena itu, sudah saatnya masyarakat luas, terutama bagi masyarakat Indonesia kini harus mendapatkan pendidikan politik yang memadai dan bisa tingkatkan kualitas demokrasi, pemerintahan dan pelayanan publik di daerah, bahkan harus memastikan bahwa semua bangunan dasar dari sistem politik pemerintahan yang diamanatkan konstitusi (UUD 1945), tetap dijaga eksistensinya.
Dalam konteks Papua! Dana otsus yang super besar sudah banyak mengalir dan mengelontorkan ke setiap kabupaten dan kota di tanah Papua sejak tahun 2001-2013. Dengan pengawasan yang masih lemah dan tidak ketat, potensi penyelewengan atas nama penggunaan wewenang seorang kepala kampung membuat pelaksanaan demokrasi tingkat paling bawah ini dicorengi dengan aksi sogok-menyogok dan suap menyuap.
Maraknya praktek politik uang membuat nasip
politik kita terperangkap dalam hukum rimba. Yang banyak uang pasti akan
menang, sedangkan lemah finansialnya bakal tersisih. Logika para politisi dalam
melakukan politik dengan uang adalah menang dengan mengeluarkan dana super
besar.
Memang politik butuh dana besar. Tetapi patut
disayangkan jika dana itu dipakai hanya untuk menyelipkan berbagai kepentingan
penyanggah modal, ini sungguh disayangkan. Sebab momentum pemilu legislatif
maupun presiden adalah upaya regulasi kepemimpinan yang mampu membuat bangsa
ini, harus lebih baik dari masa-masa sebelumnya.
Setiap pemilu legislatif maupun pilpres bukan
ajang perlombahan kekayaan, tetapi kualitas dan kemampuan yang semestinya
menjadi barometer dalam menentukan pemimpin secara nasional dan lokal. Fenomena
ini sering terjadi juga pada waktu pemilihan gubernur, bupati dan walikota
se-Indonesia dan di Papua. Yang jauh lebih mengherankan! Politik uang seolah
menjadi bagian tak terpisahkan dari pencalonan para pemimpin daerah.
Biasanya, uang sebanyak itu dipergunakan untuk
memuluskan langkahnya dari ganjalan internal partai dan mencari dukungan para
masyarakat yang berpengaruh, terutama di tingkat paling bawah, yang juga adalah
kepala-kepala distrik atau kepala-kepala kampung untuk mengiring para pemilih
pada pemilu 2009.
Namun jauh lebih para lagi, pada pemilu
legislatif dan pilpres di tahun 2014 ini . Karena demokrasi biaya tinggi amat
terasa di mana-mana dan tingkat politik uang pun lebih kental dibandingkan
pemilu-pemilu sebelumnya. Serangan fajar terjadi di mana-mana.
Sementara sistem pemilu yang aburadul belum
maksimal melacak setiap transaksi dana kampanye pemilu yang dipakai parpol
kontestan pemilu. Inilah salah satu format korupsi pemilu yang mudah diendus
namun amat sulit dibuktikan oleh hukum dan peradilan yang aman, damai dan
mulia, jujur dan adil dalam pendewasaan demokrasi kita di Indonesia.
Sejarah demokrasi ketatanegaraan bangsa
Indonesia menunjukkan bahwa di era Orde Baru, demokrasi biaya tinggi dan
praktek politik uang lebih sedikit terjadi. Korupsi pemilu lebih didominasi
oleh manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh panitia pemilu dan
birokrasi. Di masa lalu, campur tangan pemerintah sangat kelihatan terkait
dengan jalannya pemilu.
Agak lebih baik ialah pelaksanaan demokrasi
dalam lingkup yang paling kecil yakni pemilihan kepala Kampung. Di tiap agenda
demokrasi ini, masyarakat pemilih bisa langsung menjatuhkan pilihan yang
dinilai paling tepat di hati, yang paling memiliki kemampuan memimpin, dan yang
berkualitas dari sisi moralitas dan intelektualnya.
Kedekatan dengan para calon membuat rakyat tak
mungkin memilih kucing dalam karung karena mereka mengetahui persis sejak
perilaku para calon. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri, acapkali muncul
politik uang yang amat kental dan berat dipikul di peradilan apabila hal
tersebut diproses hukum secara jurdil. Ini sering terjadi ketika kepentingan
berperan.
Menghindari akan virus demokrasi yang model
biaya tinggi dengan bentuk perilaku politik uang ini, salah satu cara untuk
menangkalnya adalah pendidikan politik bagi rakyat Papua. Pendidikan politik
tak hanya mencakup memberi pemahaman kepada rakyat lewat sosialisasi tentang
cara menolak uang, tetapi harus didukung aksi nyata dari seluruh tokoh
masyarakat, terutama dimulai dari para kepala Kampung, kepala Suku, tokoh Adat
dan para Ondoafi/Ondofolo untuk tidak mudah dibeli oleh tim sukses dari parpol
dan calon pemimpin tertentu.
Akhirnya kita berharap, praktek politik uang
semacam itu tidak terjadi pada pemilu pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Apapun
argumentasinya, modus demokrasi biaya tinggi dan praktek politik uang seperti
itu harus dipangkas serta dibasmi pula. Dipangkas atau dibasmi dalam arti
ditindak tegas dengan prosedur hukum yang benar sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bawaslu, bawaslu provinsi dan panwaslu
kabupaten/kota se-Indonesia harus efektif menjalankan fungsi dan tugas monitoringnya
dan berani untuk melaporkan pelanggaran politik uang bermodus biaya tinggi yang
terjadi karena itu merupakan sebuah pelanggaran pidana pemilu yang perlu
ditangani serius. Sebab memilih pemimpin atas dasar uang tak hanya menjadi
penyakit yang menggerogoti demokrasi kita, tetapi juga mengembiri hati nurani
pemilih yang seharusnya otonom dan bebas menjatuhkan pilihan.
Jika uang yang melahirkan pemimpin, uang
jugalah yang akan menjatuhkan seorang pemimpin karena demokrasi yang dibangun
atas dasar kepentingan dan uang tak akan pernah memberi kesejahteraan apa-apa,
kecuali korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
*) Penulis adalah alumnus fakultas hukum Uncen,
Jayapura, 2004.