Menggali Jadi Diri Yang Terhilang By: JachobT Gobai ( Refleksi Hidup)
Aweida Papua, Kondisi kehidupan manusia di dunia ini, selalu
berubah-ubah tergantung perkembangan zaman ke zaman pada era global dan modern
ini. Dan tak seorang pun yang ingin menelusuri atau menggali nilai-nilai Iman,
moral dan budaya semasa ini, sehingga semua manusia penghuni atau pribumi sudah
terjerumus kedalam budaya akulturasi. Identitas kita sebagai satu bangsa yang
memiliki nilai Iman, Moral dan budaya sudah diabaikan, dan dipunahkan oleh generasi yang hidup diatas kesenangan dan keinginan sesuai perkembangan zaman
ini. Jati diri kita terhilang secara sekejab mata dan budaya sejatinya terbawa
oleh para leluhur kita.
Budaya kita terpunah dan dihancurkan oleh
generasi yang sudah diracuni pada budaya akulturasi atau budaya asing sehingga
hidup kita tergantung pada kehidupan modern ini. Budaya berkebun, bertani,
nelayan, berburu, memelihara ternak, dan warisan adat istiadat itu semuanya
dipunahkan secara perlahan-lahan hingga terpunah. Tak seorang pun generasi
penerus yang dipikirkan untuk lestarikan dan abadikan jati diri dan budaya kita
pada masa akan datang. Hidup kita hanya diatas kesenangan dan keinginan diluar
budaya sejatinya.
Dimana-mana tak berhasil menemukan orang yang
tenang menggali identitasnya sesuai budaya anugrah diatas negeri ini. Semuanya
ikut terangkum kedalam perkembangan zaman ini membuat diri kita tidak ada yang
akan disebut manusia radikal dan beraklak diatas landasan budayanya. Motivasi
kita saat ini sangat tergantung diatas nafsu dan keinginan dunia ini membuat
diri kita dan budaya kita terbuang kedalam jurang-jurang maut. Dapat mengakui
bagi mereka yang masih mengabadikan budaya sesunggunya dari TUHAN bagi manusia
penghuni atau pribumi diatas negeri ini.
Semestinya, segala sesuatu dilakukan dan
disesuaikan diatas budaya anugrah yang berikan bagi kita. Namun, hidup ini
rasanya kita dikotrol dan dikendalikan oleh penguasa-penguasa yang berniat
memunahkan budaya kita sehingga kita juga hidup diatas ketergantungan. Pada hal
kita sudah memiliki nilai budaya para leluhur yang diwariskan kepada generasi
ke generasi sebelum agama dan pemerintah hadir diatas negeri ini.
Musim kematian manusia pribumi bertumbuh subur dari
tempat penghuniannya. Semuanya mati bagaikan seperti binatang yang tidak
bernilai di dunia. Mati tanpa mengenali nilai-nilai budaya sebagai tuntutan
kehidupan kita. Manusua pribumi mati karena termotivasi dengan budaya
akulturasi yang menjadi budaya budayanya kita. Misalnya, anak-anak kita diajar dan
dibina oleh guru kita sesuai konteks budaya akulturasi sehingga paradigma
berpikir sudah terkontamisasi dengan budaya kita. Hal itu membuat anak-anak kita
belum berhasil memiliki nilai Iman, moral dan budaya kita dan dampaknya sangat
berpenagaruh terhadap setiap generasi ini mati ditangan penguasa di dunia ini.
Kesadaraan diri kita untuk menyadarkan dan mengajarkan anak-anak kita sudah
terkontaminasi dengan budaya Asing dari Eropa, Asia dan Amerika membuat
kehilangan jiwa-jiwa generasi penerus dapat berpengaruh pada penyakit sosial
dan penyimbangan sosial dari budaya akulturasi.
Sesekali saya bertanya dan berkata kepada semua pengguni
atau pribumi diatas negeri ini menyangkut pelestarian nilai-nilai budaya
sesunggunya kita bagi generasi yang akan datang. Namun, semuanya tak dapat
menjawab hanya karena mereka tidak tahu atau tidak ingin hidup diatas budaya
anugrah dari para leluhur kita. Saya masih mencari-cari identitas atau jati
diri yang terhilang atau terpunah itu. Dan kita tidak mengerti bahwa dari mana kita
datang, lalu kemana kita akan pergi sambil mematuhi nilai-nilai budaya itu.
Setinggi-setinggi Imanmu menurut budaya akulturasi atau budaya asing lalu
berusaha menjadi orang yang terhormat, terkenal dan tersanjun tak akan
berhasil memiliki kepastian hidup kita.
Budaya kita adalah hak dan kewajiban yang
sudah melekat pada diri kita. Dengan nilai-nilai budaya tak bisa dilepaskan
atau diabaikan oleh generasi pada masa kini. Menurut saya, budaya kita adalah pusat
agama kita, pendidikan kita, pekerjaan kita, suami-istri kita, rumah kita,
tempat hunian kita dan lain-lain. Hidup kita adalah hak dan kewajiban kita
sambil merevitalisasi budaya kita. Dimanakah pendirian kita sebagai satu bangsa
yang memiliki budaya anugrah sebagai sumber kehidupan di dunia dan pada akhirat.
Yang memberikan otoritas sepenuhnya adalah Allah (Poyamee, Toutomee, Totanee,
MeitagiiMee) kepada setiap suku dan bangsa yang mendiami di berbagai belahan
dunia dengan budaya kita masing-masing.
Dapat menyimpulkan bahwa semua penulisan yang
ada didalam Alkitab menjadi bahan refleksi bukan menjadi suara Allah,
disebabkan banyak penulisannya sangat bertentangan dengan budaya saya. Mengapa
saya katakan Alkitab bukan suara Allah karena semua penulisan yang ada di dalam
Alkitab sesuai konteks budaya orang yahudi (Israel). Begitu pun Kitab suci dari
agama Islam juga semua konteks penulisannya menurut budaya Saudi Arabia. Oleh
karena itu, saya masih mencari-cari budaya anugrah yang dipunahkan itu supaya
saya hidup atau mati tidak akan berdosa kepada Allah nenek moyang yang
memberikan budaya anugrah diatas negeri ini.