KABOYAGO BAGEE |
AWEIDA-News, Dalam kehidupan sosial pada suatu bangsa tentu mempunyai
landasan hidup atau Filosofi hidup tersendiri. Filosofi hidup suku Mee, yang mendiami
dikawasan pegunungan tengah, dibagian barat diantaranya; Nabire, Paniai,
Deiyai, dan Dogiyai mempunyai landasan hidup dengan istilah yang disebutkan “Dou”
artinya melihat dari sudut pandang secara menyeluruh. Kemudian filosofi yang kedua
adalah Gai, artinya berfikir terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu dalam
kehidupan suku itu sendiri. Dan yang terakhir “Ekowai” artinya melakukan atau
bertindak semua yang dianggap terpenting dalam kehidupan bagi suku mee
yang hidup di wilayah mereka. Ketiga
Filosofi diatas ini, sebagai suatu renungan sepanjang waktu, bagi mereka yang
dianggap bagian dari ketiga filosofi itu sendiri.
Kami sering mendegarkan
istilah Dou (Melihat), Gai (Berfikir), dan Ekowai (Melakukan/Bertindak) pada
saat diskusi ilmiah, seminar dan berbagai
kegitan lainnya. Namun Filosofi Dou, Gai dan
Ekowai itu sebagai suatu wacana kekinian, tanpa dipraktekan sepanjang hidup
suku Mee selama ini. Suku Mee adalah
manusia sejati artinya, mereka bisa memahami makna dari filosofi itu sendiri,
lalu membedakan mana yang baik dan yang buruk adalah penyelamatan bagi negerasi
berikut pada kemudian hari. Manusia Papua, Suku Mee, angka kematian terus
meningkat karena akibat dari ketidaktaatan pada ketiga filosofi diatas ini.
Manusia Papua, Suku Mee sedang menujuh pada kepunahan etnis karena
terkontaminasinya budaya akulturasi dengan berbagai produk pemusnahan dari
mereka yang mendominasi di daerah yang kita cintai saat ini. Para leluhur dinasihati, disarankan dan diintruksikan untuk
pencegahan berbagai produk genosida akan merajahlela Tanah Papua, terutama di
Wilayah MEEPAGO. Produk Genosida itu bermunculan setelah papua terintegrasi
ke-negara Indonesia. Dan realita berbagai produk genosida diatas tanah kita
saat ini, bukan menjadi suatu tabu ditelinga kita sepanjang kehidupan suku
Mee.
Disini kami akan menceritakan beberapa inspirasi dari para leluhur
bersama orangtua kami selama hidup suku Mee. Setiap hari didengar dengan
perkataan jangan melakukan sek bebas, minuman keras dan tindakan-tindakan
destruktif lainnya. Karena menurut para leluhur kami akan punah diatas tanah
kami sendiri, bila tidak didasari dengan filosofi hidup suku Mee. Namun tak
diduga manusia papua, suku Mee hidup sepertinya diluar dari filosofi hidup suku
Mee yang sebenarnya. Dimanakah makna dari filosofi hidup suku mee selama ini?
Ataukah kita hanya disebutkan istilah Dou, Gai dan Ekowai itu sebagai omongan
dimulut sesaat. Manusia papua, suku Mee melanggar dari Filosofinya, kini
terinveksi dengan berbagai virus yang dapat mematikan nyawa manusia papua terus
meningkat.
Produk pemusnahan bermunculan berawal dari kaum muda-mudi, anak-nak
sekolah minggu, pada usia dini. Setiap hari minggu itu, pergi ke-Gereja untuk
memuji Tuhan sebagaimana dibiasakan bagi Umat Kristiani di Tanah papua, lebih
khusus wilayah Meuwoodide. Kini usia muda, rajin bersekolah minggu, beradorasi
dan aktif dalam berbagai kegiatan dari Gereja. Itu hal positif yang dilakukan
oleh pemuda/i, baik yang denominasi gereja protestan maupun katolik. Namun
nyatanya keaktifan dalam kegiatan pemuda/i itu proses kehancuran dengan adanya
saling kontak mata si laki-laki dan si Perempuan itu. Mungkin tadinya, kita
sudah diresapi dengan motivasi rohani tetapi keluar dari Gedung Gereja sudah
berada di terninal. Proses saling kontak mata di Gereja tadi, sekarang saling
bertemu kedua pasangan di pasar terminal. Hal apa yang akan dilakukan oleh si
laki-laki dan si perempuan disana?
Sistem nepotisme juga dianggap sebagai penghancuran dan pemusnahan suku
Mee, disebabkan keluarga yang punya profesi selalu mewariskan kepada
kerabatnya, tanpa dipedulikan kepada sesama manusia, sesama suku yang ada
disekitar kita. Misalnya, Keluarga dari marga Gobai menjadi kepala daerah,
bawahannya juga ditempatkan semua marga gobai, sehingga tindakan dan semua
kebijakan seperti itu dinyatakan ketidakadilan. Semestinya, Sistem kerja
birokrasi itu bukan menjadi barang peninggalan, tetapi siapun berhak menduduki
dan menikmatinya, entah keluarga kaya maupun miskin asal saling memenuhi
kehidupan bersama, sambil melandasi filosofi suku Mee.
Sedangkan keluarga yang punya ekonomi lemah lari ke-kota untuk
menghidupi keluarganya. Belum bisa diketahui, dia pergi ke-Kota untuk
benar-benar mencari nafkah atau melakukan berbagai hal supaya mudah memenuhi
dan mendapatkan nafkah melalui uang Rupiah. Kemudian semakin meningkatnya SDM ada
banyak pengangguran mahasiswai/i dari kelurga ekonomi lemah hendak mendapatkan
pekerjaan tetapi mereka belum bisa diterima sebagai CPNS, Karyawan Swasta dan
lain-lain. Karena akibat dari sistem nepotisme sebagai faktor penghambat untuk
mendapatkan pekerjaan bagi mereka yang dibilang ekonomi lemah selam ini.
Dapat simpulkan bahwa, kehidupan kita selama ini belum sepenuhnya,
diterapkan makna dari filosofi hidup suku Mee yakni: Dou (Melihat), Gai (Berfikir)
dan Ekowai (Melakukan/bertindak) di Wilayah Meepago. Walaupun kita mempunyai
iman kristiani yang setinggi langitpun tidak ada gunanya, bila kita masih
diperlakukan ketidakadilan seperti diuraikan diatas ini. Sangat menyedihkan
suku Mee kini, kehilangan populasi semakin merosot tajam karena terjangkiti
dengan berbagi penyakit yang tak dapat diobati di dunia ini. Meskipun hidup dan
mati seseorang itu ada ditangan TUHAN tetapi kehilangan itu yang menyakitkan. Saat
ini kita masih berada dibawa konteks kolonial tetapi lebih baik memosisikan
diri untuk melawan dari Egoisme, Sistem Nepotisme dan keberpihakan kepada
keluarga ekonomi lemah. (Admin/ AWEIDA)