AWEIDA-News, Internasionalisasi isu perjuangan rakyat Papua untuk menentukan
nasibnya sendiri, termasuk opsi merdeka, tampaknya semakin kuat.
Walaupun pemerintah RI berusaha membendung hal ini, upaya itu
kelihatannya belum berhasil.
Internasionalisasi isu Papua tak hanya menjalar lewat panggung
diplomasi internasional seperti yang dikhawatirkan, tetapi juga lewat
panggung akademis. Dan bukan tak mungkin gaungnya lebih luas, karena
sasarannya adalah anak-anak muda berwawasan global yang memiliki
idealisme tinggi.
Salah satu contoh adalah apa yang dilakukan oleh Tatiana Overly,
siswa Pasadena College City (PCC) di California. Ia terpilih menjadi
salah satu siswa berprestasi yang diminta untuk menampilkan karya tulis
dalam mata pelajaran Antropologi Budaya pada KonferensiTahunan ke-17
yang diselenggarkan oleh Honor Transfer Council of California (HTTC).
Atas saran gurunya, Dr Derek Milne, Overly memilih topik tentang
perjuangan rakyat Papua dalam memperjuangkan penentuan nasib sendiri.
Karya tulis tersebut ia presentasikan dalam bentuk poster, salah satu
kategori yang dilombakan pada konferensi itu. Hasilnya, Overly memenangi
penghargaan peringkat ketiga. Dia menyajikan karyanya di konferensi itu
dan terlibat dalam diskusi dengan puluhan siswa lainnya di Ballroom
Pacific, University of Irvine. California, pada Sabtu, 26 Maret lalu.
"Banyak orang tidak tahu tentang yang terjadi (di Papua) karena
pemerintah telah melarang liputan jurnalis, mereka melarang antropolog,
nyaris menutupnya dari dunia luar untuk dapat menyebarkan berita
tentang apa yang terjadi di sana," kata Overly, sebagaimana
diberitakan oleh Pasadena City College Courier.
"Kita bisa melihat sebuah kebudayaan menuju kematian dengan apa yang terjadi di sana," kata Overly.
Overly adalah satu dari siswa terpilih dari seluruh negara bagian
California yang ikut mengajukan diri untuk turut dalam konferensi ini.
Dari sekolahnya sendiri, PCC, ada 44 aplikasi yang diterima panitia.
Mereka yang mengajukan diri diminta mempresentasikan hasil penelitian
mereka, baik secara oral maupun dalam bentuk poster.
HTTC sendiri adalah sebuah organisasi nirlaba dan merupakan forum
bagi direktur dan konselor program-program unggulan untuk berbagi
pengalaman dan kesuksesan dalam menangani siswa-siswa bertalenta.
Dalam konferensi ini siswa-siswa dari community college,
setingkat Sekolah Menengah Atas -- diberi kesempatan untuk
mempresentasikan penelitian mereka, meliputi apa yang mereka telah
pelajari di kelas, termasuk mata pelajaran Antropologi, Sejarah, Kimia,
Ekonomi, Teknik dan banyak lagi.
Sebelum konferensi, mereka diharuskan memasukkan ringkasan karya
tulis sepanjang 250 kata. Mereka yang terpilih diundang untuk mengikuti
pelatihan yang dipimpin oleh Koordinator Program Honors Transfer PCC,
Dr. Derek Milne, untuk memperbaiki lagi makalah mereka.
Penghargaan tertinggi dalam konferensi kali ini jatuh ke Roseanne
Rivera, yang memenangi Juan Lara Memorial Scolarship. Beasiswa ini
diberikan kepada siswa yang tidak mampu, yang berhasil mengatasi
berbagai kesulitan hidup.
Penghargaan kedua diberikan kepada Hannah Stewart, President dari Honors Club, yang menerima Exemplary Achievement Scholarship. Ia diganjar apresiasi itu bukan saja karena penelitiannya tetapi juga atas kepemimpinannya dalam menghidupkan organisasi.
“Konferensi ini merupakan hari terbaik dalam hidup saya," kata Milne.
"Saya sangat bangga mendengar para siswa dan selalu menyenangkan
bertemu dengan orang tua serta anggota keluarga mereka. Siswa PCC sangat
pintar dan mengahumkan. Mereka hanya perlu kesempatan mengembangkan
kemampuan riset mereka," kata Milne.
Pro-Kontra Internasionalisasi Isu Papua
Diangkatnya isu Papua oleh seorang generasi muda AS patut mendapat
perhatian pemerintah Indonesia karena ini menunjukkan isu ini mempunyai
daya tarik tersendiri. Citra rakyat Papua sebagai rakyat yang tertindas
tampaknya telah tersebar melintas waktu dan benua.
Pro-kontra internasionalisasi isu Papua sendiri sudah cukup lama. Ada
sementara kalangan menganggap internasionalisasi itu tidak akan laku di
dunia internasional. Salah satu yang beranggapan demikian adalah Toni
Sudibyo, peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia
(LSISI), Jakarta.
Menurut dia, internasionalisasi isu Papua di Parlemen Eropa dan Uni
Eropa tidak bergaung karena dinilai berpotensi merusak Comprehensive and
Partnership Cooperation Agreement (PCA) antara Indonesia dengan Uni
Eropa.
Ia menambahkan PCA RI-UE merupakan perjanjian payung yang mengatur
kerjasama dan kemitraan secara komprehensif, mendalam dan rinci antara
RI-UE. Hubungan Indonesia-UE pasca PCA akan diwarnai oleh pengembangan
hubungan yang lebih melembaga dan mencakup bidang kerjasama yang luas
termasuk bidang politik, keamanan, counter terrorism, ekonomi,
perdagangan, investasi, pendidikan, sosial budaya serta berbagai bidang
strategis yang menjadi kepentingan bersama RI-UE.
Menurut dia, PCA RI-UE juga mengatur penegasan dukungan UE baik
negara anggota maupun semua lembaga UE seperti Komisi Eropa dan Parlemen
Eropa, terhadap kedaulatan dan integritas wilayah NKRI. "Dukungan
penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah RI oleh Eropa adalah
suatu kewajiban hukum. Uni Eropa juga terikat secara hukum untuk tidak
mendukung gerakan separatis Indonesia dalam bentuk apapun juga," tulis
dia dalam sebuah kolom berjudul Internasionalisasi Masalah Papua Tidak akan Laku yang disiarkan oleh Detik.
Sedangkan di pihak lain, cukup banyak yang berpendapat
internasionalisasi isu Papua tidak bisa dibendung. Oleh karena itu,
Jakarta harus sungguh-sungguh untuk mengadakan dialog dengan
elemen-elemen masyarakat Papua agar internasionalisasi isu ini tidak
menjadi liar.
Salah seorang yang berpendapat demikian adalah Peneliti LIPI, Cahyo Pamungkas.
"Internasionalisasi masalah Papua sudah ada sejak dahulu bahkan
persoalaan Papua bukan persoalaan nasional tetapi persoalaan
internasional," kata Cahyo, kepada satuharapan.com belum lama ini.
Menurut dia, masalah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berawal dari Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.
Status Papua dilaksankan sesuai dengan perundingan antara pihak
Indonesia dan pihak Belanda. Hal itu sudah menunjukkan adanya dimensi
internasional masalah Papua.
Lalu peristiwa Trikora, yang kemudian memicu konflik Indonesia dan
Belanda yang dimediasi oleh Amerika Serikat, juga menunjukkan dimensi
internasional masalah Papua.
"Ketika beberapa tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) melarikan diri
ke luar negeri, ke Belanda, Papua Nugini dan Australia, itu sudah mulai
menciptakan benih-benih proses internasionalisasi mengenai Papua yang
kemudian bermuara pada pembentukan Parlemen Internasional untuk Papua
Barat (International Parliementarians for West Papua) di Inggris pada
tahun 2008. Kemudian KTT Melanesian Spearhead Group (MSG) pada 2015, itu
juga merupakan bagian dari internasionalisasi masalah Papua," kata
Cahyo.
Editor: Admin / AWEIDA-News