AWEIDA-News--Menurut
laporan tahunan Amnesti Internasional terbaru, penegakan HAM di Indonesia di
bawah Presiden Jokowi mengalami banyak kemunduran, meskipun ada sedikit
kemajuan. Hal-hal yang dianggap sebagai kemunduran, antara lain meningkatnya
pengekangan berekspresi dan pembatasan kebebasan beragama.
Organisasi
hak asasi manusia Amnesti Internasional hari Rabu (24/2) meluncurkan laporan
tahunan HAM secara global. Laporan ini mendokumentasikan serangkaian masalah
HAM di Indonesia sepanjang tahun 2015, termasuk soal meningkatnya pengekangan
berekspresi, pembatasan kebebasan beragama, penggunaan kekuatan berlebihan dan
pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan dan kembalinya penggunaan hukuman
mati.
Amnesti
soroti penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan
Deputi
Direktur Kampanye Asia Tenggara Amnesti Internasional, Josef Benedict dalam
jumpa pers di Jakarta mengatakan polisi dan militer masih menghadapi
tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan yang
tidak diperlukan.
Dicontohkannya,
pada bulan Maret 2015 beberapa anggota Brimob menyerang para penduduk di
kampung Morekau, Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, setelah para
penduduk tersebut mengadu kepada komandan Brimob yang datang ke kampung mereka
bahwa para anggota Brimob tersebut mengganggu sebuah upacara keagamaan.
Tiga
belas orang mengalami luka serius akibat serangan tersebut. Meskipun komandan
kepolisian setempat berjanji akan menyelidiki peristiwa itu, hingga kini belum
ada seorang pun yang diseret ke muka hukum.
Dua Warga Komoro ditembak oleh Polisi tanun 2015 |
Contoh
lain – ujar Josef – terjadi ketika pada bulan Agustus seorang personel militer
yang tidak bertugas menembak mati dua orang di depan sebuah gereja di Timika,
Provinsi Papua. Polisi di tempat yang sama juga menembak dua orang pelajar
sekolah menengah dalam sebuah operasi keamanan di bulan September, di mana
salah seorang di antaranya meninggal.
Contoh-contoh
itu belum mencakup penangkapan sewenang-wenang para pengunjuk rasa damai –
khususnya di Papua – yang juga terjadi di sepanjang 2015.
Intimidasi
dan serangan terhadap kelompok minoritas sering terjadi
Dalam
laporan itu, Amnesti Internasional menyatakan bahwa pemerintah telah membatasi
kegiatan-kegiatan yang memperingati 50 tahun peristiwa pelanggaran HAM
1965-1966.
Gangguan
intimidasi dan serangan terhadap kelompok minoritas agama di berbagai tempat di
Indonesia juga kerap terjadi tahun lalu, dengan difasilitasi oleh ketentuan
hukum yang diskriminatif – baik di tingkat nasional maupun lokal.
Josef
Benedict juga menyebut sebuah hukum pidana Islam di Aceh (Qanun Jinayat) yang mulai
diberlakukan pada Oktober 2015, yang memperluas penggunaan hukuman yang kejam
bagi pelaku hubungan seksual sejenis dan hubungan intim antara dua orang di
luar perkawinan, dengan hukuman cambuk maksimum masing-masing 100 dan 30 kali.
Hingga laporan ini disampaikan sedikitnya ada 108 orang dicambuk di Aceh
berdasarkan hukum Syariah, baik karena perjudian, minum alkohol atau zina pada
tahun 2015, padahal hukuman cambuk merupakan penghukuman yang kejam dan tidak
manusiawi.
Josef
juga menyebut eksekusi mati 14 orang terkait narkoba pada tahun 2015 sebagai
bentuk pelanggaran HAM lain. Yang sangat mengkhawatirkan tambahnya pemerintah
juga telah mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan eksekusi mati pada tahun
2016.
Amnesti
desak Jokowi memperbaiki agenda pemajuan HAM
Untuk
itu Amnesti Internasional meminta Presiden Jokowi untuk memperbaiki agenda
pemajuan HAM ini.
"Konsen
serius kita adalah Jokowi menjadi presiden karena dia membawa agenda-agenda HAM
pada saat kampanyenya, yang sama sekali kita lihat ada kemajuan kecil, tapi
banyak kemunduran. Indonesia telah menandatangani berbagai kovenan
internasional termasuk tentang penyiksaan. Polisi dan militer harus menjalankan
tugasnya sesuai dengan aturan yang ada," ungkap Josef.
Amnesti
Internasional mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang telah membebaskan
sejumlah tahanan politik di Papua, seperti Filep Karma, tetapi janji Jokowi
untuk membebaskan tahanan politik lainnya belum terealisasikan.
Amnesti
Internasional juga memuji kebijakan Jokowi yang mengijinkan wartawan asing
masuk ke Papua, meskipun belum terealisir dengan baik di lapangan.
Kontras: kebebasan
berekspresi era Jokowi jauh lebih buruk
Koordinator
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengakui
memang soal keamanan di Papua masih menjadi salah satu masalah yang berat dan
tidak adanya penegakan hukum bagi aparat yang melanggar, membuat aksi kekerasan
yang dilakukan aparat di Papua terus terjadi.
Haris
juga menyatakan kebebasan berekspresi pada era Presiden Jokowi jauh lebih buruk
di banding di bawah kepemimpinan Presiden SBY. Sejumlah aturan seperti
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik justru banyak mengkriminalkan
orang yang bependapat. Pembatasan kebebasan kerap dijadikan alat untuk menekan
hak-hak fundamental yang idealnya harus dilindungi dalam keadaan apapun.
Selanjutnya,
Haris Azhar menilai belum ada perubahan sikap aparat keamanan dalam menjalankan
penegakan hukum dan menjaga ketertiban sipil.
Alasan
keamanan juga kerap dijadikan agenda untuk membatasi kebebasan dan ruang-ruang
ekspresi warga. Alasan keamanan cenderung digunakan untuk membungkam ekspresi
politik damai di wilayah sensitif seperti di Papua. Alasan yang sama digunakan
untuk menciptakan stigma dan diskriminasi terhadap korban atau keluarga korban
dari peristiwa 1965.
Penyelesaian
kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terus didengungkan pemerintah
menurut Kontras hanyalah omong kosong, pasalnya hingga kini pemerintah belum
melakukan apapun untuk menyelesaikan hal itu.
"Jadi
menurut saya, satu tahun kepemimpinan Jokowi ini, saya mau bilang tidak
bersahabat dengan hak asasi manusia, justru cenderung membahayakan angka
kekerasan terhadap masyarakat sipil meningkat," ujar Haris.
Menkumham
akui masih banyak hal yang harus diperbaiki
Sebelumnya,
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengakui bahwa memang masih
banyak hal yang harus diperbaiki dan kerjakan. Pelaksanaan penegakan hukum
tambahnya memang masih terjadi pelanggaran HAM tetapi saat ini secara bertahap
hal itu diperbaiki. Ditambahkannya membangun tanpa memperhatikan persoalan hak
asasi manusia sama saja dengan menafikan kehidupan manusia itu sendiri.
"Peristiwa-peristiwa
yang dilakukan oleh banyak pihak, baik yang dilakukan secara individual atau
oknum penyelenggaraan pemerintahan masih tingkat pelaksanaan penegakan hukum
yang masih banyak pelanggaran HAM-nya, secara bertahap sudah mulai kita perbaiki,
penegakan hukum, penyiksaan dll. Semua itu memori-memori yang harus kita
jadikan sebagai refleksi," demikian menurut Yasonna. [fw/em] (Sumber:www.voaindonesia.com)
Disposkan:AWEIDA-News