Memahami Toleransi Umat Beragama di Indonesia.
AWEIDA-News, Toleransi beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin rapuh, semakin merusak sebagai sebuah negara yang menganut demokrasi. Toleransi arti singkatnya, menghargai atau mengakui atas kebebasan beragama dalam kerukunan hidup bangsa. Namun, arti dari toleransi kini menjadi intoleransi yang dibangun oleh umat beragama sendiri di Indonesia. Dimanakah jaminan hidup berbangsa dan bernegara yang menjamin negara demokrasi yang bebas bergama di Indonesia..?
Jika mereka disebut Negarawan, Nasionalis, Penegak Hukum, Perancang Undang-Undang atau pun para reformator dari negara demokrasi, maka mereka mampu memebedakan kasusnya lalu melihat situasi yang terjadi saat itu, bukan menyebarkan informasi serupa dengan apa yang terjadi pada masa yang berlalu. Dalam hal ini, situasi di Aceh Singkil tidak bisa disamakan dengan situasi di Tanah Papua, teristimewa daerah Tolikara. Para pemimpin negara yang disebut "Negarawan" kurang menganalisis situasi yang terjadi atas ketidaktoleransian beragama sehingga menyebarkan informasi yang sangat keliru melalui berbagai media nasional. Berhungan dengan hal tersebut, kasus di Tolikara dapat ditangani dan dibangun kembali masjid-Nya dalam jangka waktu yang relatif singkat. Sedangkan kasus di Aceh Singkil, masih dipertimbangkan karena adanya sikap protes dari kaum muslim yang bersikap fanatik terhadap agamanya akan menolak dibagun kembali gedung gereja yang sudah dibakar.
Peristiwa seperti itu tidak hanya tejadi di Aceh dan Papua, kemudian kasus yang sma sering terjadi di pulau jawa juga tak terluput selama beberapa dekade ini. Umat nasrani, dari pulau jawa dapat diserang karena akibat intoleransi yang tinggi pada diwilayah yang bermayoritas kaum muslim. Untuk umat nasrani membangun gedung gereja saja dapat dibatasi bahkan sampai dibongkar gedung gereja yang sudah ada. Sewajarnya, melihat tempat kejadian lalu, melakukan suatu tindakan terhadap oknumnya, bukan saling melampiskan kasusnya ketempat lain atau wilayah lain yang masih kondusif dalam kehidupan sosialnya.
Masjid bisa buka dimana-mana dinegara nusantara ini, karena dengan adanya jaminan undang-udang dasar negara yang menyatakan saling bertoleransi terharap agama yang lain. Dan situasi tertentu untuk membangun gedung gereja dari umat Kristiani belum diberikan surat Ijin (IMB), bagi umat nasrani pada umumnya di seluruh wilayah Nusantara.
Orang papua memiliki toleransi yang tinggi terhadap agama apapun yang ada di negara Indonesia. Namun, dapat diikuti melalui berbagai media nasional, dapat diberitakan informasinya seakan-akan orang papua itu berfanatik terhadap agama lain yang ada di Tanah Papua. Pada hal, orang papua sangat menghargai atas undang-undang dasar negara yang menjamin kebebasan beragama. Oleh karenanya, segala problema yang terjadi dimana-mana merupakan awal dari kebijakan pemerintah yang hanya mementingkan kepentingan tertentu demi pemeriharaan kejahatan melalui berbagai strategi untuk menghancurkan negara demokrasi itu sendiri.
Beberapa bulan yang lalu, pemerintah Amerika Serikat (US), melalui menteri departmen luar negeri juga memperingatkan buruknya situasi di Indonesia atas Pelanggaran HAM, Intoleransi Agama terhadap Kaum Minoritas dan Kebebasan berdemokrasi. Namun, menyimak dari hal-hal diatas ini, menjadi persoalan serius sepanjang ini. Pada hal, Indonesia mengklaim bahwa, Indonesia adalah negara yang menganut negara demokrasi tetapi tak terbendung dengan realitanya, sehingga sorotan atau ancaman dari negara-negara lain pun dihadapi sejauh ini.
Bagaimana kaum intelektual dan profesional yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi melihat situasi atas persoalan toleransi beragama?. Dan untuk mengayomi terhadap kaum minoritas yang kurang adanya peratian serius diantara kaum mayoritas? Setiap tindakan dari agama manapun untuk merusak agama yang lain, maka mereka bisa dikatakan belum sepenuhnya memahami makna dari toleransi bebas beragama, dan juga mereka bukan umat beragama yang menganut, Ketuhan Yang Maha Esa, melainkan memuja simbol agama -Nya yang berfanisme buta.
Sebagai penegak Hukum dan Pengayom rakyat, diharapkan memahami kasus yang terjadi diwilayah yang berbeda, tanpa menyamakan kasus yang terjadi di wilayah lain, selain wilayah yang dipimpinnya. Karena suatu komentar dari mulut kita, kemungkinan mendatangkan keresahan intoleransi agama akan terus terjadi.
Untuk itulah, jadikanlah diri kita menjadi seorang diri yang mampu membedakan situasi saat itu, tanpa berasumsi kasus yang sama pula akan terjadi di wilayah lain pada kemudian hari. Pernyataan dari beberapa kaum negarawan dan nasionalis yang berkomentar melalui media nasional, dapat dikatakan kurang ketelitian memberikan pemahaman yang komprehensif. Kasus di Aceh singkil, tidak sepantasnya mengisukan di wilayah lain, karena sangatlah keliru memberikan asumsi yang tidak berdasar, hanya menduga-duga yang mengkhawatir kehidupan sosial, sehingga kasus di Aceh Singkil tidak bisa disamakan dengan wilayah lain di Indonesia.
Untuk itulah, jadikanlah diri kita menjadi seorang diri yang mampu membedakan situasi saat itu, tanpa berasumsi kasus yang sama pula akan terjadi di wilayah lain pada kemudian hari. Pernyataan dari beberapa kaum negarawan dan nasionalis yang berkomentar melalui media nasional, dapat dikatakan kurang ketelitian memberikan pemahaman yang komprehensif. Kasus di Aceh singkil, tidak sepantasnya mengisukan di wilayah lain, karena sangatlah keliru memberikan asumsi yang tidak berdasar, hanya menduga-duga yang mengkhawatir kehidupan sosial, sehingga kasus di Aceh Singkil tidak bisa disamakan dengan wilayah lain di Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa, negara yang mempunyai undang-undang dasar negara, yang tertuangkan dalam sila yang pertama tentang "Ketuhanan Yang Maha Esa" maka kebebasan beragama, wajib dihargai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang memilik kontitusi yang menjamin kebebasan beragama diseluruh Wilayah Nusantara, teristimewa di pulau jawa, Aceh dan West Papua. (AWEIDA)
Disposkan: AWEIDA-News