Kaboyago Bagee |
AWEIDA-News, Kehidupan merasa terhimpit
dan terdesak, dengan dominannya berbagai denominasi aliran agama diwilayah
yang kita huni saat ini. Sebenarnya, injil sudah ada sebelum para Missionaris
membawa agama di Tanah Papua. Dan budaya peran para leluhur identik dengan
agama yang dibawa oleh para Missionaris.
Mengapa katakan demikian? Orang berbicara tentang kasih Tuhan dalam versi
Alkitab, tentu para leluhur juga telah melakukan dan menjalankan selama
berabad-abad hingga sampai pada saat abad pertengahan masuknya injil.
Yang menjadi persoalan buat masyarakat papua sekarang adalah kita sering
mengabaikan budaya yang benar-banar seharusnya, kita sesuaikan dengan versi
Alkitab. Bahkan terkadang kita melupakan budaya kita sendiri dan dianggap bahwa
budaya itu, sesuatu yang primitif atau tidak berguna. Jika kita hanya berpijak
pada era modern saat ini, budaya tentu akan menuntut dimanapun kita berada.
Lagi pula, umur kita pun akan terbatas dikarenakan kehidupan kita hanya
tergantung dari budaya orang lain.
Kehidupan generasi saat ini, telah berdampak dekadensi nilai-nilai kultur yang
sebenarnaya dipertahankan dalam kehidupan sebagai identitas diatas negeri
mereka. Perlu kita sadari dan mengembangkan budaya yang benar itu, serta dapat
melestarikan dan mempraktekan secara universal, tanpa terpengaruh dengan
akulturasi budaya. Perbadingan budaya para leluhur identik dengan injil yang di
bawah oleh Para Misionari di Papua. Injil sebagai sebuah simbol atau kompas
perlawanan dengan terjadinya akulturasi budaya luar.
Alkitab
dan Alquran menjadi pedoman dan bahan refleksi buat generasi penerus papua
serta diversikan dengan budaya para leluhur itu. Yang perlu kita atasi bersama
adalah budaya perang saudara atau konflik sosial yang sering terjadi di Bumi
Cendrawasih, terutama daerah-daerah pedalaman Papua. Seharusnya, budaya perang
suku atau perang keluarga itu, tentu mempunyai kaidah-kaidah atau aturan-aturan
perangnya. Namun perang yang sering terjadi di papua saat ini, tidak sesuai
dengan perang para leluhur sebelum masuk injil. Maka itulah yang dikatakan
akulturasi budaya tercemar diBumi Cenderawasih.
Budaya perang suku atau konflik sosial sekarang terkontaminasi dengan
akulturasi budaya orang lain sehingga memakan korban jiwa manusia papua
terus-menerus terjadi. Siapakah yang dapat menanggung segala konflik yang
megakibatkan nyawa manusia tanpa berdosa di Bumi Cendrawasih itu? Mungkin
saja, perang suku atau konflik sosial itu, terjadi karena kepentingan tertentu
dari sekelompok orang yang demi memanfaatkan kepentingan ekonomi, politik dan
kekuasaan lainnya. Generasi penerus papua harus berfikir secara objektif
dan akurasi atas tindakan-tindakan selanjutnya.
Salah
contoh kehidupan para leluhur orang Melanesia, Papua. Apabila seorang pria
merasa diri sudah burbuat dosa atau berhubungan badan dengan istri dari suami
orang Lain, tentu diantara si laki-laki dan perempuan tanpa ampun menghabiskan
kedua nyawa diatas gantungan panahan. Karena apa yang diperbuat si laki-laki
dan perempuan itu, sudah melanggar budaya perang para leluhur. Kemudian pihak
dari suami si istri bersama pihak dari pelaku laki-laki berkumpul untuk
berunding agar persoalan itu dapat terselesaikan secara radikal tanpa merasa
berkeberatan terhadap kedua belah pihak. Kemudian kedua pelakunya dinyatakan
melanggar hukum Adat.
Proses
selanjutnya, kedua pelaku mengantungkan diatas kayu yang berbentuk salib agar
rakyat diputuskan untuk membunuh kedua pelakunya. Demikian pula pihak laki-laki
dan perempuan membuat kesepakatan untuk menyelesaikan kasus tersebut secara
budaya perang para leluhur dan persoalan itu diselesaikan pada saat itu juga.
Tanpa merasa kecurigaan dan berkeberatan antara sesama warga
yang ada di kampung itu.
Budaya
perang suku atau konflik sosial bukan melibatkan pihak lain, tetapi mencari
kedua oknum atau yang disebut pelaku agar bagaimana proses penyelesiaan masalah itu
dapat terselesaikan secara radikal. Untuk itulah, kepada generasi muda tidak
akan terpengaruh dengan budaya akulturasi yang tercemar, tetapi justru menjadi
simbol perlawanan akulturasi budaya dengan kekuatan Injil. Semoga kita
hidup berintim dengan kebenaran, maka kehidupan kita tentu terus berubah,
sesuai budaya yang diberikan oleh pencipta kepada orang Papua, asal kita setia
mengikuti kebenaran Pencipta. "Syalom" (Admin/AWEIDA)