Headlines News :

.

.
Home » » Kisah Mengamati Pertikaian dan Melihat Situasi di Kota Tondano

Kisah Mengamati Pertikaian dan Melihat Situasi di Kota Tondano

Written By Aweida Papua on Rabu, 05 November 2014 | 07.59

AWEIDA-News, Suatu kisah seseorang mempunyai ide-ide untuk menyumbangkan kenangan hidupnya bagi mereka yang hidup di Tanah rantauan. Dan melihat kondisi dan situasi dalam kehidupan seseorang itu harus dialami sebagai pengamatan secara real, .

Kemarin kami berangkat ke Tondano tetapi disana tidak ada berambut kriting yang terlihat, karena akibat dari pertikaian antara masyarakat minahasa, khususnya warga tataaran dengan mahasiswa papua. Kami rombongan pergi dalam rangka program studitur bersama, tetapi anehnya saya sendiri yang berambut keriting diantara teman-teman itu.


Pada awalnya, teman-teman seperjungan dan senasib berambut kriting yang masih ada di kota manado, mereka bertahan saya untuk tidak boleh pergi di daerah pertiakaian disana. Namun saya menolak dengan penahanan dari teman-teman tadinya. Karena dalam program studitur itu, diwajibkan sehingga berangkat kesana. Saya berangkat ke-tondano untuk melihat situasi atas pertikaian yang terjadi empat hari yang lalu.

Begitu kami tiba dibeberapa taman wisata, kami melakukan rekreasi bersama dan diambil dokumentasi sebagai bukti kunjungan kepada mereka yang menyuruh kami pergi disana. Sampai disana saya melihat dari sebuah puncak gunung memandang ke- bagian kota Tondano, lalu tiba-tiba saya menangis ditempat karena letak geografisnya terbentuk seperti dengan kampung halaman wissel Meren. Disitu terdapat danau, rawa dan beberapa tanjung yang menjorok ke-Danau. Tiba-tiba hati-Ku terharu karena, tak pernah kembali ke-Tanah air selama studi di Tanah Minahasa.

Pada jam 12 siang, kami merasa lapar untuk makan siang bersama di tempat, kami makan di desa tataaran II. Sementara kami makan ada beberapa warga kampung tataaran datang mendekati kepada saya, dengan senyuman yang tulus. Tetapi belum tentu senyuman mereka itu dari lubuk hati mereka atau hanya karena saya dilihat sebagai perbedaan diantara kami rombongan kesana itu.

Sementara saya makan siang, tiba-tiba seorang ibu perkauan dari salah satu Gereja kampung Tataaran II datang menyapa dengan saya. Ibu mengatakan kepada saya dengan kata "Syalom Anak" terlebih dahulu. Kemudian saya pun menyapa sambil ucapkan "Syalom Ibu". Kami diskusi biasa-biasa saja dengan ibu-ibu yang ada disitu. Sementara kami berdiskusi dengan ibu-ibu Gereja itu, mereka memberikan nasihat dan motivasi dengan bahasa yang disertai dengan motivasi rohani sambil bercucuran air mata. Lalu ibu-ibu perkauan itu diberikan motivasi untuk harapan masa depan saya, Katanya seperti itu"

Walaupun saya melihat ada beberapa warga disitu juga yang berpakaian pereman di Post pankalan ojek, tetapi mereka melihat saya seperti biasa sebagai warga di Kampung itu. Seringkali, ku menyadari bahwa, saya ini bukan warga penghuni tetapi sementara menuntut ilmu di Tanah Minahasa.

Negeri-Ku berlimpa dengan kekayaan alam serta panorama alam yang memilukan hati-Ku. Apa boleh buat masih dalam perjuangan di Negeri ini. Namun komitmen saya, harus pulang ke Tanah Air dengan Ilmu, dan IJAZAH  sarjana. kata seorang mahasiswa itu.

Dimanakah saudara/saudari-Ku seperjungan di Tanah Minahasa ini, Namun pada kenyataannya, beberapa mahasiswa papua dikabarkan sudah pulang ke-kampung halaman mereka. Begitupun terlihat dipelabuhan Bitung mahasiswa/I seperjungan itu berlabu dengan kapal dorolonda. Ada apa dibalik isu-isu yang sedang berkembang saat ini? atau mungkin merasa trauma dan ketakutan berlebihan sehingga kembali ke-kampung halaman tanpa ada keberhasilan yang membuahkan sebagai hasil keringat selama perjuangan studi disini.

“Menurut perkataan orang, segala sesuatu yang kita lakukan dan dialami sepanjang hidup tentunya, berawal dari perbuatan kita masing-masing. Dan apapun yang terjadi dalam kehidupan itu melihat secara konfrehensif bukan secara parsial” katanya.

Sesudah kami makan siang, pergi jalan-jalan melihat kampus UNIMA Tondano, dan beberapa asrama papua yang ada didekat kompleks kampus. Kemudian asrama-asrama papua yang ada disana itu, telihat kosong. Dan saya melihat tak satupun mahasiswa asal papua yang ada lingkungan kampus. Lalu Ku menatap di Negeri Ufuk Timur dengan cucuran air mata sambil berdoa ditempat. Dan teman-teman disamping saya, turut merasakan kesedihan dengan berdoa saya dengan  cucuran air mata itu.

Kemudian saya pergi melihat asrama kamasan Papua di Tondano, dan beberapa asrama dari daerah papua seperti asrama pemerintah manokwari. Namun saya belum menemukan wajah-wajah sesama seperjuangan dan senasib asal papua disana. Di asrama manokwari saya bisa menemukan ada dua putri melanesia, berambut kriting yang masih bertahan di sana. Lalu bersalaman sambil menangis kami bertiga dihalaman asrama manokwari selama beberapa menit. Karena waktunya sudah sore, saya meninggalkan kedua saudari-Ku yang masih bertahan disana. Saya hanya menyampaikan ucapan selamat berjuang dan selamat sore kedua saudari-Ku sampai penentuan nasib kita bersama.

Akhir dari kisah ini, dapat disimpulkan bahwa apa bila orangtua kami disuruh pulang ke-kampung halaman dengan maksud untuk penentuan nasib sendiri atau diadakan referendum tentu kami bisa kembali tanah air. Namun karena pertikaian yang tak bisa diisukan dengan ideology perjungan kami, maka kami akan tetap belajar disini karena hidup dan mati ada ditangan TUHAN. (Admin/ AWEIDA-News)
Share this article :

.

.

HOLY SPIRITS

JESUS IS MY WAY ALONG TIME

JESUS IS MY WAY ALONG TIME

TRANSLATE

VISITORS

Flag Counter

MELANESIA IS FASIFIC

MELANESIA IS FASIFIC

MUSIC

FREEDOM FIGHTERS IN THE WORLD

FREEDOM FIGHTERS IN THE WORLD
 
Support : AWEIDA Website | AWEIDANEWS | GEEBADO
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2015. Aweida Papua - All Rights Reserved
Template Design by AWEIDA Website Published by ADMIN AWEIDA