Headlines News :

.

.
Home » , , , , , » Menggali Jadi Diri Yang Terhilang

Menggali Jadi Diri Yang Terhilang

Written By Aweida Papua on Sabtu, 13 Oktober 2018 | 03.42



Menggali Jadi Diri Yang Terhilang By: JachobT Gobai ( Refleksi Hidup)

Aweida Papua, Kondisi kehidupan manusia di dunia ini, selalu berubah-ubah tergantung perkembangan zaman ke zaman pada era global dan modern ini. Dan tak seorang pun yang ingin menelusuri atau menggali nilai-nilai Iman, moral dan budaya semasa ini, sehingga semua manusia penghuni atau pribumi sudah terjerumus kedalam budaya akulturasi. Identitas kita sebagai satu bangsa yang memiliki nilai Iman, Moral dan budaya sudah diabaikan, dan dipunahkan oleh generasi yang hidup diatas kesenangan dan keinginan sesuai perkembangan zaman ini. Jati diri kita terhilang secara sekejab mata dan budaya sejatinya terbawa oleh para leluhur kita.

Budaya kita terpunah dan dihancurkan oleh generasi yang sudah diracuni pada budaya akulturasi atau budaya asing sehingga hidup kita tergantung pada kehidupan modern ini. Budaya berkebun, bertani, nelayan, berburu, memelihara ternak, dan warisan adat istiadat itu semuanya dipunahkan secara perlahan-lahan hingga terpunah. Tak seorang pun generasi penerus yang dipikirkan untuk lestarikan dan abadikan jati diri dan budaya kita pada masa akan datang. Hidup kita hanya diatas kesenangan dan keinginan diluar budaya sejatinya.

Dimana-mana tak berhasil menemukan orang yang tenang menggali identitasnya sesuai budaya anugrah diatas negeri ini. Semuanya ikut terangkum kedalam perkembangan zaman ini membuat diri kita tidak ada yang akan disebut manusia radikal dan beraklak diatas landasan budayanya. Motivasi kita saat ini sangat tergantung diatas nafsu dan keinginan dunia ini membuat diri kita dan budaya kita terbuang kedalam jurang-jurang maut. Dapat mengakui bagi mereka yang masih mengabadikan budaya sesunggunya dari TUHAN bagi manusia penghuni atau pribumi diatas negeri ini.

Semestinya, segala sesuatu dilakukan dan disesuaikan diatas budaya anugrah yang berikan bagi kita. Namun, hidup ini rasanya kita dikotrol dan dikendalikan oleh penguasa-penguasa yang berniat memunahkan budaya kita sehingga kita juga hidup diatas ketergantungan. Pada hal kita sudah memiliki nilai budaya para leluhur yang diwariskan kepada generasi ke generasi sebelum agama dan pemerintah hadir diatas negeri ini.

Musim kematian manusia pribumi bertumbuh subur dari tempat penghuniannya. Semuanya mati bagaikan seperti binatang yang tidak bernilai di dunia. Mati tanpa mengenali nilai-nilai budaya sebagai tuntutan kehidupan kita. Manusua pribumi mati karena termotivasi dengan budaya akulturasi yang menjadi budaya budayanya kita. Misalnya, anak-anak kita diajar dan dibina oleh guru kita sesuai konteks budaya akulturasi sehingga paradigma berpikir sudah terkontamisasi dengan budaya kita. Hal itu membuat anak-anak kita belum berhasil memiliki nilai Iman, moral dan budaya kita dan dampaknya sangat berpenagaruh terhadap setiap generasi ini mati ditangan penguasa di dunia ini. Kesadaraan diri kita untuk menyadarkan dan mengajarkan anak-anak kita sudah terkontaminasi dengan budaya Asing dari Eropa, Asia dan Amerika membuat kehilangan jiwa-jiwa generasi penerus dapat berpengaruh pada penyakit sosial dan penyimbangan sosial dari budaya akulturasi.

Sesekali saya bertanya dan berkata kepada semua pengguni atau pribumi diatas negeri ini menyangkut pelestarian nilai-nilai budaya sesunggunya kita bagi generasi yang akan datang. Namun, semuanya tak dapat menjawab hanya karena mereka tidak tahu atau tidak ingin hidup diatas budaya anugrah dari para leluhur kita. Saya masih mencari-cari identitas atau jati diri yang terhilang atau terpunah itu. Dan kita tidak mengerti bahwa dari mana kita datang, lalu kemana kita akan pergi sambil mematuhi nilai-nilai budaya itu. Setinggi-setinggi Imanmu menurut budaya akulturasi atau budaya asing lalu berusaha menjadi orang yang terhormat, terkenal dan tersanjun tak akan berhasil memiliki kepastian hidup kita.

Budaya kita adalah hak dan kewajiban yang sudah melekat pada diri kita. Dengan nilai-nilai budaya tak bisa dilepaskan atau diabaikan oleh generasi pada masa kini. Menurut saya, budaya kita adalah pusat agama kita, pendidikan kita, pekerjaan kita, suami-istri kita, rumah kita, tempat hunian kita dan lain-lain. Hidup kita adalah hak dan kewajiban kita sambil merevitalisasi budaya kita. Dimanakah pendirian kita sebagai satu bangsa yang memiliki budaya anugrah sebagai sumber kehidupan di dunia dan pada akhirat. Yang memberikan otoritas sepenuhnya adalah Allah (Poyamee, Toutomee, Totanee, MeitagiiMee) kepada setiap suku dan bangsa yang mendiami di berbagai belahan dunia dengan budaya kita masing-masing.

Dapat menyimpulkan bahwa semua penulisan yang ada didalam Alkitab menjadi bahan refleksi bukan menjadi suara Allah, disebabkan banyak penulisannya sangat bertentangan dengan budaya saya. Mengapa saya katakan Alkitab bukan suara Allah karena semua penulisan yang ada di dalam Alkitab sesuai konteks budaya orang yahudi (Israel). Begitu pun Kitab suci dari agama Islam juga semua konteks penulisannya menurut budaya Saudi Arabia. Oleh karena itu, saya masih mencari-cari budaya anugrah yang dipunahkan itu supaya saya hidup atau mati tidak akan berdosa kepada Allah nenek moyang yang memberikan budaya anugrah diatas negeri ini.

Disposkan: Aweida Papua
Share this article :

.

.

HOLY SPIRITS

JESUS IS MY WAY ALONG TIME

JESUS IS MY WAY ALONG TIME

TRANSLATE

VISITORS

Flag Counter

MELANESIA IS FASIFIC

MELANESIA IS FASIFIC

MUSIC

FREEDOM FIGHTERS IN THE WORLD

FREEDOM FIGHTERS IN THE WORLD
 
Support : AWEIDA Website | AWEIDANEWS | GEEBADO
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2015. Aweida Papua - All Rights Reserved
Template Design by AWEIDA Website Published by ADMIN AWEIDA