Oleh: Alpons Amoye Gobai
Liberation theology (teologi pembebasan) kontruksi iman Kristen teoritis yang pertama kali dielaborasi di dunia ketiga, teologi pembebasan bertujuan menghadirkan kebebasan dari dari penindasan sebagai persoalan yang memuat signifikansi religious. Konsep ini berasal dari Amerika Latin pada 1960-an.
Teologi pembebasan memadukan konsep ini berasal dari ilmu-ilmu social dengan ide-ide biblical dan teologis. Secara khusus, karena menggunakan teori Marxis ia bisa dibaca oleh teolog dan sosiolog sebagai bentuk teori social radikal yang mencakup etika keadilan sekuler. Gereja Katholik merespon theology pembebasan dengan mempertanyakan status epistemology dari teologi yang mengintegrasikan unsur-unsur dari teori Marxis (Congregation for the doctrine of faith, 1984).
Bentuk hybrid dari theology pembebasan menyulitkan pendefinisianya. Seorang dapat mengatakan bahwa penggunaan kata benda tunggal “teologi” untuk mendeskripsikan kortus literature pembebasan adalah menyesatkan. Ada sejumlah teologi pembebasan kulit hitam (Cone, 1969); teologi pembesan bangsa Yahudi (Ellis, 1987); teologi pembebasan asia (Suh Kwang-sun, 1986; dan teologi pembebasan Amerika Latin (Haight, 1985).
Selain itu, ada yang dinamakan teologi politik, yang yang dipengaruhi oleh sosiologi kritis aliran Franfurk, yang bisa dideskripsikan sebagai teologi pembebasan untuk masyarakat capitalis barat (Metz, 1969). Dengan kata lain, adalah lebih tepat untuk mengatakan “teologi-teologi pembebasan” ketimbang “teologi pembebasan).
Bahkan jika deskripsi universal tidak bisa diberikan, teologi-teologi ini munkin bisa disatukan dalam satu nama kerena semuanya menganut asumsi tentang perlunya teologi kontemporer untuk diorientasikan pada tiga nilai:pertama, analitis penindasan dan bentuk pembebasan, kedua, penggunaan analitis social dan teori social sebagai mode kolektif untuk mode teologi tradisional yang telah “diprivasisasikan”, dan ketiga, penggunaan paradigm pembebasan dari kitab eksodus (keluaran).
Penindasan dan Pembebasan.
Mode teologisasi khas yang dikembangkan dalam teologi pembebasan berasal dari kombinasi analitis emperis atas bentuk-bentuk penindasan dan analitis sosiologi dan politik terhadap bentuk-bentuk itu. Di amerika latin, teori pendidika dari Paulo Freire (1970) mengemukakan deskripsi kemiskinan dan ketidakberdayaan rakyat.
Belakangan disadari bahwa analitis sosioekonomi Marxis juga efektif untuk mengidentifikasi bentuk penindasan yang merupakan akibat dari persekutuan gelongan kaya dengan berkuasa dengan kapitalisme. Para teolog teolog yang memikirkan kemiskinan rakyat mulai berbicara tentang “ struktur penindasan”, dan menginterpretasikan situasi ini secara teologis, dan mereka menggunakan istilah “struktur dosa”.
Tidak jelas apakah teolog pembebasan mengemukakan koneksi tekstual antara gaja teologisasi mereka dengan gaya Marx dalam Critigue of Hegel’s phylosaphy of right, tetapi ada kesamaan diantara keduanya. Marx mengidentifikasi kelas penindas berdasarkan “perwujudan pembatasan”…yang mengasilkan penindasan umum” (dalam term teologi pembebasan ini bisa berupa struktur dosa yang menciptakan kemiskinan yang para), atau berdasarkan defisiensi dari rung tertentu yang menjadi “kejahatan seluruh masyarakat” (yang bisa mendeskripsikan tempat holocaust Nazi dalam teologi pembebasan Yahudi) (lihat Marx, 1975, h.254).
Kemajuan dari pemahaman personal dan psikologi tentang dasar-dasar teologi ke interpretasi sosiologis atas realitas adalah ciri-ciri khas teologi pembebasan. Misalnya, rekomendasi gaya hidup miskin subjektit dari gereja katholik diganti oleh teologi pembebasan dengan “pilihan untuk si miskin” yang objektif. Karena gereja berkompromi dengan kelas kaya yang menindas, maka teologi harus bersama si miskin dalam perjuangan menuju pembebasan.
Rekomendasi “opsi mendasr untuk si miskin” ini mencerminkan pangan Marx bahwa “jika satu kelas pembebasan parexcellence, maka pasti ada kelas lain yang merupakan kelas penindas” Konklusi Marx (dengan gema teologisnya yang aneh) penindasan social jenis berarti “kekalahan total kemanusian, yang dapat ditebus hanya melaui penebusan manusia secara total”(ibib., 256, memberikan tema eskatologis bentuk sekuler dalam perjuangan untuk mendirikan kerajaan Tuhan (dengan konsekuensi social dan politinya sendiri) yang merupakan jantung teologi pembebasan.
Teori Social Radikal: Deprivatisasi Pesan Kristen.
Perkembangan dan sifat teologi pembebasan tidak dapat dipahami tampa memandangnya sebagai reaksi terhadap: pertama, individuallisme teologi barat klasik; dan kedua, terhadap pendekatan teoritis consensus dari pemikiran social katolik. Dua hal muncul dalam mengoreksi kelemahan pertama teologi politik german, yang didefinisikan Metz sebagai “tindakan korektif kritis terhadap tendensi teologi kontemporer untuk berkonsentrasi pada individualisme privat” (1968, h.3); dan tindakan korektif lainnya, pengungkapan makna social dalam gosper oleh orang Kristen amerika latin yang memperjuangkan keadilan.
Teologi pembebasan berusaha untuk mengoreksi kelemahan kedua dengan menggunakan pandangan Marxis untuk menunjukan bahwa analitis penindasan social memerlukan teori konflik dan tindakan. Teologi pembebasan berusaha selektif menggunakan pandangan Marxis, agar tidak menerima system Marxis; tetapi banyak komentator Kristen meragukan apakah analitis itu dapat digunakan tampah menerima interpretasi materialis atas sejarah.
Yang membedakan pendekatan teologi pembebasan dengan bentuk teologi sebelumya, dan yang merupakan epistemologinya, dirinkas dalam pengguaan istilah “praktis” (praxis). Teolog barat terlatih dalam tradisi yang mengutamakan pengetahuan teoritis. Pertama mempelajari kebenaran, lalu applikasinya. Teologi pembebasan mempertanyakan tradisi ini. Mereka lebih mengutamakan tindakan; praksis lebih dahulu ketimbang teori; ortopraksis lebih dahulu ketimbang ortodoksi.
Tanpa menyankal kegunaan pendekatan ini terdapat teologi, kita bisa mempertanyakan apakah penggunaan praksis ini bukan sekadar seperti penggunaan oleh Aristoteles soal yang berkaitan dengan kedidupan di polis; sedangkan dalam “praksis” Marxis terdapat referensi spesifik pada tindakan yang terkait dengan relasi produksi. Sekali lagi, hubungan erat antara gagasan praksis dalam marxisme dan interpretasi materialis atas realitas pasti akan menyulitkan interpretasi teologis atas sejarah.
Paradigma Eksodus
Akan tetapi, akan keliru jika didiskusian teologi liberal sebagai pandangan yang koherensinya tergantung hanya pada korespondensinya dengan Marxisme yang semakin tidak mampu mempertahankan pandangan ekonominya. Pada titik ini maxisme mungkin munkin harus belajar dari teologi pembebasan.
Pada 1929, Ernst Bloch, dalam interpretasinya yang orisinal atas Marxisme, menentang Engels dan yang lain dengan mengatakan bahwa bahasa yang dipakai oleh Thomas Munzer dalam perang petani tahun 1542 bukan bentuk tujuan politik sekuler yang disamarkan, tetapi ekspresi dari pengalaman religious yang juga mengasilkan komitmen politik. Dalam teologi pembebasan, Kitab eksodus menjadi paradigma utama dalam mempromosikan usaha Kristen untuk memutus belenggu penderitaan dan penindasan.
Dalam kisah eksodus, iman dan politik disatukan; tindakan orang-orang dan tindakan Tuhan adalah satu; fakta politik dan kejadian teologis berjalan beriringan dilihat dari sudut pandang proses pembebasan itu sendiri, kitab eksodus mengidentifiasi dua momen: pembebasan dari (penindasan firaun); pembebasan ke (Tanah yang dijanjikan).
Ini adalah paradigma yang mengarakan banyak teologisasi pembebasan. Pada 1968, konferensi uskup amerika latin lewat dokumen Medellin ( yang secara resmi memuat tema pembebasan) menyebut kekuatan revolusioner pembebasan dalam Eksodus; dan Gutierres mengatakan bahwa “kekuatan ini penting sampai saat ini karena orang-orang Tuhan merasakan pengalaman yang sama” (1973,h. 159)*)
Penulis Adalah Masih Bangku Study Mahasiswa STT Walter Pos, Jayapura.
Disposkan: AWEIDA-News